Leiden is Lijden; Memimpin adalah Menderita
Sebuah ungkapan, yang memiliki arti luas tentang kepemimpinan, gambar di atas membuat kepemimpinan ini berkaitan dengan Bangsa Indonesia dalam perjuangannya mencapai kemerdekaan.
Ungkapan memimpin adalah menderita memang perkataan dari Kasman Singodimedjo berkaitan dengan mentornya; H. Agus Salim, kata dia Salim merupakan pelakunya yang tiada duanya. Akan tetapi jika kita kritisi ungkapan tersebut pada hakikatnya memang benar. Karena memimpin berarti mengabdi, dalam bahasa kasarnya ia siap menderita.
Menilik sejarah tidak akan ada ujungnya, lebih baik berbicara apa yang terjadi hari ini dan apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Dalam kehidupan bernegara sekarang ini, banyak pemimpin yang sudah tidak menderita karena mereka memanfaatkan wewenangnya untuk mendapatkan kenikmatan dunia bahkan memperkaya dirinya sendiri dengan berbagai cara. Hal tersebut menjadi ironis, padahal dari zaman sebelum masehi hingga zaman teknologi memimpin itu mengabdi untuk rakyat, untuk bangsa, untuk wilayah. Maka "Leiden is Lijden" masih relevan hingga kapan pun.
Sebagai orang yang lahir, tinggal, tumbuh, dan besar di negeri Indonesia, kita sedang mengalami fase pemerintahan yang buruk, karena terus menerus mengandalkan media sebagai ajang pencitraan untuk menarik simpati masyarakatnya, agar elektabilitasnya tetap tinggi. Padahal, memimpin itu menderita bukan sederhana atau beli cooper terus touring bareng rombongan moge (motor gede) pake cooper, menderita juga gak harus pake sendal jepit.
Memimpin itu menderita, di Indonesia saat ini yang terjadi malah sebaliknya. Pemimpin itu menderita-kan rakyatnya dengan berbagai kebijakan yang tidak sesuai dengan kondisi ekonomi rakyat. Kebijakan yang tidak pro-rakyat, merupakan suatu penindasan terhadap pancasila yang menyatakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pencabutan subsidi listrik, subsisi premium, impor beras ketika 2 bulan petani akan panen, impor garam padahal kita tidak kekurangan pantai, hingga penuntutan kasus penyelesaian HAM yang setiap kamis melakukan aksi di depan Istana tidak terselesaikan, bahkan ibu-ibu nenek-nenek yang berdemo di depan Istana setiap hari kamis tidak pernah di temui oleh pemimpim yang bernama Jokowi.
Mungkin ia tidak tahu risiko memimpin, jauh dari hidup yang gemerlap (pencitraan) dan tetap menjalaninya dengan lapang hati. Seperti Bung Karno ketika bertemu petani, ia ngobrol dan berbicara tentang hakekat bertani hingga munculah sebuah pemikiran yang disebut marhaenisme yang dikembangkan oleh founding father kita. Kenyataannya yang terjadi sekarang, ketika presiden kita bertemu petani, ada narasi yang ia cetuskan? ada pemikiran yang ia ungkapkan? ada harapan yang ia sampaikan?
Komentar
Posting Komentar