Review Jurnal Kepemimpinan Dalam Persfektif Islam
Dalam mendiskusikan falsafat kepemimpinan dilihat dari perspektif Islam, perlu terlebih dahulu dicari kejelasan tentang beberapa istilah yang digunakan, mengingat demikian banyak kemungkinan arti yang disandang oleh masing-masing istilah, tergantung siapa yang menggunakan, kapan dan untuk maksud apa istilah itu digunakan. Filosofi dalam bahasa yunani philoshopos yang berarti lover of wisdom, Philosophy memiliki banyak arti, di antaranya: 1) Mencintai dan memajukan kebijaksanaan dengan menggunakan sarana intektual dan moral disiplindiri, 2) Investigasi terhadap sebab-sebab dan hukum-hukum yang mendasari realitas, 3) Penyelidikan terhadap keadaan segala sesuatu berdasarkan pemikiran logis daripada metodemetode empiris, 4) Ilmu pengetahuan yang terdiri atas logika, etika, estetika, metafisika, dan epistemologi. Sedangkan leadership menurut Tysson, wald and spieth memetakan leadership menjadi 4 aspek, yaitu orientasi pemimpin (leader-oriented leadership), seperti teori-teori kepemimpinan Great-man (Orang Besar), Trait (Sifat Melekat), dan Charismatic (Kharismatis.) Berikutnya, perhatian diberikan kepada orientasi pengikut (followeroriented), di antaranya teori Attribution (sifat kepemimpinan hasil observasi prilaku oleh pengikut.) Perhatian selanjutnya ditekankan kepada situasi (situation-oriented) seperti teori Contingency (Kemungkinan), dan Path-Goal (Cara-Tujuan.) Terakhir, tekanan diberikan kepada interaksi (interactionoriented) seperti teori-teori Transactional, dan Transformational.
Jadi menurut jurnal ini Falsafat pemimpin dalam Islam ialah proses berpikir dengan cara radikal, rasional,
menggali dasar-dasar yang paling hakiki, guna
menemukan kebenaran tentang kepemimpinan
dalam semua orientasi dan perspektifnya. Ke
dalam falsafat kepemimpinan ini termasuk
menemukan gagasan yang berada di balik
berbagai teori kepemimpinan, dan mengenali
paradigma (metafalsafat) di balik pemikiran-pemikiran
falsafi tentang kepemimpinan. Hal ini berarti, perspektif
falsafat kepemimpinan tidak terbatas kepada
apa yang telah terurai di atas, melainkan
dapat diperluas dengan perspektif keyakinan
agama, perspektif kultural, perspektif wilayah
geografis dan seterusnya. Menurut Qasim Zaman, istilah dalam
bahasa Arab yang bermakna leader adalah
imām. Tetapi kata ini juga memunyai arti lain,
yaitu model, otoritas, atau eksemplar. Hal ini
dapat dilihat misalnya dalam al-Qur’ān surah
al-Baqarah/2: 112 tentang Ibrāhīm, “…Aku
akan menjadikanmu imam bagi seluruh
manusia,” atau surah Hūd/11: 17 tentang
kitab Mūsā, “…dan sebelum al-Qur’ān itu ada
kitab Mūsā sebagai imam dan rahmat.” Dalam
literatur tauhid atau fiqh masa awal, al-Qur’ān
disebut juga imam, walaupun al-Qur’ān
sendiri tidak menyebutkannya. Pemimpin
salat berjamaah biasa disebut imam, dan
dalam tradisi fiqh Sunnī, imam juga merujuk
kepada khalifah, meskipun sejak abad 9 dan
seterusnya istilah imam digunakan untuk
menyebut para tokoh ulama Sunnī. Bagi para
ahli fiqh Sunnī, imam/khalifah itu penting
eksistensinya sesuai petunjuk wahyu dan
bukan menurut akal, guna memertahankan
Islam dan menerapkan syari‘at. Ketika
kekuasaan imam/khalifah mulai melemah
di tangan para panglima perang, ada ahli
fiqh yang menyatakan penguasa manapun
yang memiliki kekuasaan politik efektif,
dianggap sebagai imam yang sah sejauh tidak
menentang syari‘at.
Imamah/Khilafah dan Skisma
Kontroversi imamah di masa khalifah
Alī b. Abū Ṭālib (w. 40 H./661 M.) telah menimbulkan
perang saudara sesama Muslim
antara para pendukung ‘Alī dengan para pembela
kematian ‘Utsmān, baik yang tergabung
dalam kubu ‘Ā’isyah bt. Abū Bakr Ṣiddīq,
maupun Mu‘āwiyah b. Abū Sufyān, penguasa
wilayah Damaskus dan sekitarnya. Perang ini
telah mendorong pembunuhan Alī, sehingga
imamah berpindah ke tangan Mu‘āwiyah dari
keluarga Quraysy Banu Umayyah. Perang
ini juga menimbulkan perpecahan kaum
Muslim ke dalam tiga faksi, yaitu faksi Khārijī
(penentang ‘Alī sekaligus Mu‘āwiyah),
faksi ‘Utsmānī (khususnya keluarga Bani
Umayyah) dan faksi Syī‘ah ‘Alī, yang untuk
pertama kali menyuarakan pandangan masing-masing
tentang imamah. Sedangkan, Leadership sebagai Imamah/Khilafah dalam
Tradisi Sunnī
Dalam kitab Uṣūl al-Dīn, al-Baghdādī
menguraikan sebelas wilayah pembahasan
mengenai imamah versi Sunnīsme, yaitu 1)
perlunya imamah, 2) penetapan imam, 3)
jumlah imam pada setiap waktu, 4) ras dan
kabilah imam, 5) kualifikasi imam, (6) ‘iṣmah
(impeccability, terlindung dari perbuatan
dosa) dalam imamah, 7) cara-cara menetapkan
imam dalam posisi imamahnya, 8) penetapan
imam sesudah Nabi, 9) pewarisan dan wasiat
dalam imamah, 10) Legitimasi imamah ‘Umar
dan ‘Utsmān, 11) imamah ‘Alī.
Jika ingin membaca jurnal lebih lengkap bisa mengunjungi alamat http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/ilmu-ushuluddin/article/view/4849/3298
Komentar
Posting Komentar