Narasi yang menggantung tanpa sumber, tidak memiliki kredibilitas
Jika pada akhirnya kita harus menerima semua yang terjadi, bersyukur atas apa yang kita dapatkan, dan tetap menjalani kenyataan yang tidak sesuai keinginan. Mengapa kita harus bersusah payah mengupayakan impian? Cita-cita? Bukankah seharusnya jika kenyataan tidak sesuai keinginan, kita harus walk out untuk menjalaninya? Apa perlu kita bersyukur atas impian yang tidak terjadi? Bukankah kita harusnya tidak dapat menerima kehidupan setelah gagal meraih cita-cita?
Tidak, bukan bunuh diri, maksud-ku. Tetapi lebih ke arah, mengapa kita harus memiliki impian, cita-cita, dan keinginan. Jika itu semua hanya menjadi penghambat hidup. Impian yang dibagikan kepada orang terdekat, jika tidak tercapai akan menjadi beban dirimu terhadap orang-orang terdekat-mu. Cita-cita yang diceritakan kepada keluarga, jika gagal diraih akan menjadi beban dirimu terhadap keluarga. Keinginan yang kamu ceritakan kepada pasangan pun, jika kenyataannya tidak sesuai, akan memberatkan hubungan-mu. Apalagi jika orang-orang yang kamu bagikan itu menagih ucapan-mu. Jika kamu hanya ceritakan impian, cita-cita dan keinginan pada dirimu sendiri, bukankah kamu juga akan kecewa sendiri? Tetap akan menjadi beban untuk-mu.
Lalu, muncul teori bahwa harapan adalah salah satu sumber kekuatan orang untuk tetap hidup. Sementara semua itu adalah bagian dari harapan. Jadi wajar rasanya setiap orang memiliki cita-cita, impian dan keinginan. Justru tidak wajar rasanya jika seseorang tidak mempunyai cita-cita, impian dan keinginan. Sungguh tragis, seseorang yang hidup dalam kematian. Lantas, bagaimana cara kita untuk dapat menikmati, merasa bahagia dan tanpa beban dalam menjalani kehidupan?
Beruntung kita hidup pada masa sekarang, kita tinggal memetik buah usaha orang-orang terdahulu. Kita tidak harus menemukan formula, rumus, teori bahkan pedoman hidup. Sudah ada Agama, Ideologi, dan pemikiran-pemikiran orang tentang kehidupan. Kita tinggal membacanya, mempelajari dan coba mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Tragis rasanya jika kita masih malas membaca, enggan mempelajari, dan tidak ada waktu untuk coba mempraktekkannya. Satu-satunya alasan kita menolak Agama, Ideologi, pemikiran-pemikiran orang tentang kehidupan, mungkin otensitas. Setiap orang harus menemukan dirinya dan caranya hidup. Tetapi rasanya sangat naif, dan hanya sebuah alasan. Mungkin, seperti orang-orang yang mengaku Ateis, padahal itu hanya alasan dari rasa malasnya untuk beribadah. Klasik.
Hidup adalah pilihan, pikiran, tangan, kaki, hati dan organ tubuh lainnya adalah alat untuk menempuh kehidupan. Jika kita dapat mengoperasikan setiap organ sesuai fungsi dan porsinya, pasti terjadi keseimbangan, keselarasan.
Komentar
Posting Komentar